Mereka Menolak BPJS Tanpa Alasan (Yang Jelas)

Catatan ini sudah tersimpan beberapa hari dalam folder di komputer. Ingin mempublikasikan dari kemarin-kemarin, sebenarnya. Akibat berbagai kegiatan yang tak terputus, akhirnya saya baru berkesempatan mempublikasikannya hari ini.

Ini tentang seseorang yang secara tidak sengaja bertemu saya saat melakukan aksi unjuk rasa di Kantor PT. Jamsostek Tangerang 1. Saat itu saya memesan segelas kopi kepada pedagang kaki lima, yang letaknya persis bersebelahan dengan penjual somay. Tempat dimana ada dua orang, perempuan muda, sedang menikmati somay di siang yang terik itu. Salah satunya bernama, Susi. Sebut saja begitu. Sesuai dengan nama yang diperkenalkannya kepada saya, meski kemudian saya sendiri meragukan nama yang diperkenalkan kepada saya itu adalah nama yang sebenarnya.

“Demo apa, mas?” Susi membuka pembicaraan. Rasa ingin tahu, terlihat jelas dari nada suaranya.

“Mendesak agar pemerintah segera menjalankan SJSN dan mengesahkan RUU BPJS.”

”Loh, apa hubungannya dengan Jamsostek? Kayaknya baru lihat sekali ini dech, ada Jamsostek didemo. Kenapa enggak demo ke Bupati atau DPR aja?”

Mendengar pertanyaan borongan itu, saya tersenyum. Pun tidak segera menjawab, karena pada saat yang sama, si penjual menghidangkan segelas kopi pesanan saya.

”Kami meminta agar PT. Jamsostek sebagai pelaksana tunduk pada SJSN dan BPJS,” ujar saya, sesaat kemudian setelah abang si penjual kopi berlalu. Lantas saya menjelaskan agenda aksi hari ini. Tentang pentingnya menolak Badan Hukum Jamsostek sebagai BUMN dan PT, dan meminta agar PT. Jamsostek di transformasi menjadi bernama BPJS Jamsostek dengan bentuk Badan Hukum Publik Wali Amanah yang menerapkan 9 prinsip jaminan sosial.

Selanjutnya, BPJS Jamsostek yang baru ini harus melayani: (a) Program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian selama bekerja, (b) Jaminan hari tua seumur hidup, (c) jaminan kesehatan seumur hidup (baik saat masih bekerja maupun sudah tidak bekerja) termasuk untuk keluarga buruh, dan (d) jaminan pensiun wajib didapatkan oleh seluruh pekerja.

”Trus gimana kalau sampai ada PHK besar-besaran bagi karyawan Jamsostek, mas? Kan kasihan mereka. Mereka juga buruh lo? Belum lagi, transformasi itu justru akan membuat tabungan JHT kita akan hilang.”

Tidak sulit bagi saya untuk menebak kemana arah pikiran Susi. Terlalu sering saya mendengar, pertanyaan ini dari mereka yang menolak RUU BPJS diundangkan. Kepadanya, saya hanya mengatakan, bahwa transformasi tidak akan menyebabkan PHK dan menghilangkan hak-hak normatif karyawan PT. Jamsostek. Yang ada justru perampingan di tingkat direksi pada keempat BUMN, wajar jika kemudian ada penolakan dari para petinggi Jamsostek.

Juga soal JHT yang dijadikan isu murahan untuk mendapat simpati dari buruh. Mereka mengira, jika hak buruh terusik, buruh bisa digerakkan sesuka hati mereka. Akan tetapi, saya kira, buruh tidak sebegitu bodoh untuk menelan mentah-mentah gosip murahan itu. JHT bukan milik Jamsostek, tetapi milik peserta. Kalaupun ada transformasi (seperti yang terjadi dalam Bank Mandiri), uang nasabah tidak akan hilang.

Sepanjang saya bercerita ngalor-ngidul soal transformasi dan dana JHT, Susi memang diam. Akan tetapi, bukan berarti diamnya itu karena memberikan persetujuan. Susi mengaku tetap menolak transformasi. Sebagai BUMN, PT. Jamsostek dalam predikat baik. Dinilainya sehat.

”Apa alasan menolak transformasi? Beri saya penjelasan yang bisa saya mengerti, bahwa transformasi memang seharusnya tidak terjadi?”

Sampai disini Susi terdiam. Kecuali kalimat ini, yang lirih terucap. ”Ya pokoknya menolak aja,”

Hingga ketika bung Sarijo menutup aksi hari itu, saya tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan. Dan dugaan saya semakin besar bahwa Susi adalah karyawan Jamsostek, saat bergerak mundur, Susi dan temannya memasuki halaman Jamsostek.

Inilah yang kemudian semakin membuat saya yakin, bahwa RUU BPJS adalah pertarungan antara orang-orang yang tidak rela apa yang mereka dapatkan saat ini hilang, dengan orang-orang yang menghendaki ada jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ada banyak tuduhan, tentang uang jamsostek yang mengalir ke beberapa SP/SB untuk mendanai penolakan RUU BPJS. Saya kira, lepas dari benar atau salah, ini tetap memprihatinkan. Jangankan soal dana itu, terkait dengan penolakannya terhadap RUU, saya kira adalah sebuah sikap yang keliru. Akan berapa tahun lagi SJSN dijalankan di negeri ini . Substansinya, janganlah uang membuat kita gelap mata. Membuat kita menghianati hati nurani. Bahwa sesungguhnya kita, saya dan anda, juga orang-orang yang kita cintai, satu saatnya nanti pasti membutuhkan jaminan sosial.

Menjalankan SJSN dan mengesahkan RUU BPJS adalah harga mati. Soal bagaimana isi dari RUU itu, saya kira kita bisa berdiskusi, dengan tetap mengedepankan prasangka baik.

Kita tidak bisa lagi menunggu. Sampai bertemu dalam aksi besar 22 Juli 2011….,

2 pemikiran pada “Mereka Menolak BPJS Tanpa Alasan (Yang Jelas)

  1. masalahnya yakin gitu dengan penggabungan ini akan berjalan dengan baik, terlalu manis rasanya untuk menjamin kesehatan yang mengatas namakan rakyat, pendidikan masih mahal pangan masih belum tercukupi apalagi ditambah masalah jaminan sosial, kenapa tidak memikirkan dibangun BPJS baru yang bener bener buat rakyat kecil, tidak menambah khawatir kaum buruh yang selama ini mereka iuran, dan iuran pun atas pemotongan gaji sehingga tidak terasa bahwa mereka sesungguhnya iuran, apabila dilebur cakupannya akan luas lebih rumit, mengurus SIM aja sudah rumit. Nanti malah timbul insurance asing, pastilah kalangan menengah ke atas akan memilih asuransi asing yang bener benar fokus ke mereka, tidak habis pikir apa motif DPR ini. sesungguhnya rakyat sudah cape akan kebijakannya

    1. Sangat yakin, tidak akan banyak timbul masalah dengan transformasi. Sebab UU SJSN membutuhkan UU BPJS agar bisa berjalan. Saya jadi justru bertanya, apa yang salah dengan jaminan kesehatan seumur hidup bagi seluruh rakyat? Ini sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk diwujudkan. Dan karena tahu iyu sulit, itulah sebabnya kami tidak pernah lelah untuk berupaya dan menjaga agar cita-cita itu bisa diwujudkan. | Justru saya merasa aneh kalau masih ingin mempertahankan ke-empat bumn/pt yang,

Tinggalkan komentar