Surat Untuk Fadlan (2): Sebait Tembang Do`a

Pada akhirnya, engkau diberi nama Abdulah Fadllan Harist. Tentu ini bukanlah nama yang tanpa makna. Sebuah nama yang ditetapkan dengan sepenuh hati, juga pengharapan besar agar ia menjadi do`a.

Beberapa hari ketika dirimu lahir, nenekmu – baik dari pihak Abi dan Umi – datang ke Jempling. Jempling adalah nama sebuah kampung, tempat dimana Abi dan Umi mengontrak sebuah rumah petak. Terletak di antara dua kawasan industri: Kawasan Industri Modern, dan Kawasan Industri Pancatama. Ini sekaligus menjadi pertemuan yang bermakna. Mengingat, sejak Abi dan Umi menikah, ini adalah untuk pertamakalinya kedua nenekmu itu bertemu.

Baru sehari, ketika mbah putri (panggilan kepada nenekmu yang dari Blitar) tiba di Jempling, kabar duka datang. Buyutmu, yang juga nenek Abi dikabarkan meninggal. Kami semua mengikhlaskannya. Namun ketika mengingat kelahiranmu, dengan sendirinya kenangan terhadap buyutmu itu dengan sendirinya ikut menjelma. Sosok yang belum sempat melihat wajahmu. Tetapi mendengar kabar kelahiranmu, adalah kebahagiaan yang sulit terangkai dengan kata.

Kelahiran dan kematian, memang dua kata yang tak terpisahkan. Sebab sejatinya, kelahiran berjalan menuju pada kepastian. Dan kepastian itu adalah kematian. Itulah sebabnya, hidup yang sesungguhnya adalah menyiapkan perbekalan ketika saatnya nanti kita mati.

Orang bijak mengatakan, akan ada hidup setekah mati. Itulah sebabnya, kematian kita di dunia bisa dimaknai sebagai kelahiran. Lahir di alam yang berbeda. Sebagaimana kita terlahir di alam dunia, meninggalkan tempat nyaman di rahim ibunda.

Kini usiamu menginjak 6 tahun. Masa-masa emas pertumbuhan. Bahkan, ketika Abi menulis catatan ini, engkau sedang bersiap untuk memasuki Sekolah Dasar (SD).

Abi banyak mendengar, sekolah menjadi awal mula benih-benih ketidakjujuran diajarkan. Sebagaimana halnya kasus menyontek massal di Surabaya. Juga di berbagai tempat lain, di Indonesia. Ini tentu sebuah keprihatinan, dan Abi berharap, engkau akan melakukannya dengan kemampuanmu sendiri. Dengan semangat dan kerja keras, semua akan menjadi indah pada akhirnya.

Catatan Sebelumnya:
1. Surat Untuk Fadlan (1): Kebahagiaan Itu…

Tinggalkan komentar