Gambar

Dia menggambar di sebuah kertas, lalu mengguntingnya sesuai pola. Gambar itu, serupa seorang laki-laki, dengan kalimat di dalam kepala — entah apa.

Di sana kita bisa mengisinya apa saja. Menafsirkan sesuka hati. Satu yang pasti, kita merdeka dengan pikiran kita.

Saya senang melihatnya melakukan aktivitas kreatif seperti ini. Mengeluarkan imajinasi yang ada di kepala, agar tidak selalu terkungkung di alam maya.

Setiap karya yang lahir memang harus diapresiasi. Bukankah berkarya sama halnya dengan mencipta? Sesuatu yang tidak banyak orang mampu melakukannya.

Laku kreatif harus dibiasakan. Dilatih terus menerus. Jika tidak, ia akan membeku dalam pikiranmu.

14 Tahun

Di penghujung bulan Juni 2019 ini, usianya genap 14 tahun. Dia yang dulu kemana-mana selalu ikut, kini memiliki dunianya sendiri. Bahkan beberapa kali menolak ketika diajak.

Saat pulang ke Blitar atau Palembang naik bus, bergantian dengan uminya, saya memangkunya sepanjang perjalanan. Saat itu dia masih kecil. Dan rasanya seperti baru kemarin.

Meski tidak terlalu sering, dia suka menulis. Saya kira, gejolak jiwa mudanya akan lebih baik jika ditumpahkan dalam kata-kata.

Namun demikian, saya tidak menutupi kekhawatiran terhadap. Terlebih di tengah pergaulan zaman now.

Tentu saja, sebagai orang tua, saya punya harapan besar terhadapnya. Namun demikian, ia memiliki harapannya sendiri. Merdeka terhadap cita dan asanya sendiri.

Selamat berulang tahun, Fadllan. Panjang umur dengan segala kebaikan.

Menyiapkan Materi

Sejak kemarin, bersama bung Obon, Iwan, dan Herveen kami berkumpul di tempat ini. Meski dalam tim yang relatif kecil, apa yang kami lakukan tidak sia-sia. Semalam, kami berhasil menyelesaikan draft materi untuk kegiatan “refresing course”.

Kami memulai dengan menyusuri kembali setiap jalan kenangan.

FSPMI lahir membawa gen perlawanan. Kesungguhan untuk memurnikan kembali gerakan.

Ia tidak ujug-ujug seperti yang kita lihat sekarang. Ada banyak keterbatasan. Pernah terseok-seok dan patah. Tetapi dari kesulitan itu muncul kreatifitas. Lahir gagasan-gagasan di luar batas.

Hari ini kita kembali mendeteksi hadirnya tantangan. Namun demikian, kita tidak hendak menyalahkan siapa pun. Tugas kita untuk tampil ke depan, untuk kemudian mengambil tanggungjawab yang lebih besar.

Tim Kreatif

Selalu menyenangkan bisa bekerja bersama orang-orang yang terbiasa berfikir kreatif. Out of the box. Bersama orang yang terbiasa dengan ide-ide baru, kita merdeka dalam menyampaikan gagasan. Bahkan yang paling ekstrim sekali pun.

Kami memang cenderung menghindari formalitas yang kaku dan monoton. Sejak awal kami belajar untuk tidak mengeluh dalam kondisi apa pun. Bisa bekerja di kantor, tetapi juga tak masalah harus menyelesaikan tugas di tengah perjalanan. Ketika berada di dalam bus atau kereta, misalnya.

Sedapat mungkin kami merawat kreativitas ini. Ketika tidak ada lagi kreasi, dengan sendirinya perubahan tidak akan terjadi.

Bukankah dibutuhkan gagasan dan cara-cara baru untuk capaian yang baru?

Itulah sebabnya, kami sebisa mungkin melewati hari-hari dengan canda tawa, tetapi serius ketika harus menyelesaikan tugas. Ketika ada teman yang bercanda dan kita tidak sakit hati, itu pertanda kita sudah dekat sekali. Sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan kepada orang yang baru kenal.

Ini dua hari yang efektif. Kami menentukan pokok bahasan, berdiskusi dan bertukar pikiran, kemudian melakukan eksekusi. Dari sini saya belajar, bahwa yang membuat sebuah proses berjalan lama adalah karena ditunda-tunda. Padahal kalau dikerjakan, hanya butuh waktu beberapa jam.

Dalam Pelukan Alam Raya

Tempat paling nyaman berada di pelukan alam raya. Dalam dekapan pepohonan, hembusan angin, kicau burung, rintik hujan, hingga embun pagi yang menghadirkan warna-warni puisi.

Karena itulah, ketika senggang kami suka melakukan perjalanan. Seringkali tidak ada rencana hendak kemana. Kadang bahkan spontan. Mengisi bensin dengan penuh, lalu berjalan begitu saja.

Sekali dua kali, perjalanan itu berujung di pantai. Menyusuri hutan bakau atau menyapa laut. Dan tentu saja, tak ketinggalan melakukan ritual zaman kiwari: selfie.

Bagi saya, perjalanan adalah sebuah percintaan. Satu ruang yang memungkinkan kita untuk terus bergandengan tangan, saling mendekat, dan sama-sama memastikan sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Siman

fb_img_1465467682767

SIMAN. Panggil saja begitu. Usianya tidak lagi muda. Tahun ini, genap 60 tahun.

Seusia itu, dia tidak mau pensiun dari tempatnya bekerja.

“Saya masih kuat bekerja. Buat apa minta pensiun?” Ujar buruh dari sebuah pabrik yang berlokasi di Semarang ini, ketika saya menanyakan mengapa di usianya yang sudah senja dia tidak istirahat saja.

Siman juga anggota Garda Metal. Dia bahkan tecatat sebagai angkatan pertama dalam Latsar Jawa Tengah. Melihatnya mengenakan kaos berkerah yang dimasukkan kedalam celana jeans, dengan rambut panjang dan kalung perak khas Garda Metal, tidak sulit menyimpulkan bahwa dia memang berjiwa muda.

“Saya ingin memberi contoh kepada yang muda-muda.” Mendengar itu, saya menepuk pundaknya. Dia pria yang bersahaja.

Tidak sekedar memberi contoh. Siman memang layak dicontoh. Orang tua yang memahami arti tanggung jawab. Dia tidak menjadi egois dengan mengatakan kini giliran anak muda, kemudian hanya duduk di belakang meja. Siman hadir untuk memberikan spirit, bahwa perjuangan tak kenal usia. (*)

Teman

IMG_20160315_142100-1024x576

Saya mengenal tim ini dengan baik. Akrab dan dekat. Sederhana saja indikator yang saya pakai untuk mengukur sebuah kedekatan. Ketika kita melakukan protes, kritik, bahkan bicara sedikit keras dan mereka tidak tersinggung, kita sudah berada di tingkat itu. Sudut yang dipakai nyaris sama: bercanda.

Meskipun saya tidak mendalami dunia foto dan video, tetapi jiwa saya ada disana. Ini semacam perasaan cinta. Jauh, tapi tetap terasa hangat.

Saya teringat kisah mereka ketika berada di Surabaya. Sejak bangun tidur,Kiki dan Slamet nyaris tak pernah akur. Sekedar mentransfer file video pun membuat mereka berselisih pendapat. Tetapi ketika tidur, konon mereka tak bisa memejamkan mata jika tidak berpelukan. Sudah sampai pada taraf itu rupanya.

Peran Kepala Suku Iwan Budi Santoso dan Herveen, saya rasa menjadi kunci penting yang membuat tim ini menjadi tetap stabil. Keduanya adalah anak muda yang memahami benar, hal apa yang harus mereka kerjakan. Saya merasa beruntung berada di tengah-tengah mereka. Seperti mendapat teman ngobrol di sebuah perjalanan yang membosankan.

Jika ada film berjudul “Kisah 3 Titik”, disini pun ada yang tak kalah seru: “Kisah 2 Agung”. Satu hal yang selalu menimbulkan pertanyaan lanjutan ketika nama ‘Agung’ disebut. Agung yang mana nih? Tangerang atau Jakarta? Begini rupanya derita memiliki nama pasaran, hehe…

Kemarin kami bertemu, setelah tujuh hari mereka digembleng ilmu kanuragan di Akmani, persis di belakang Sarinah yang beberapa waktu lalu dihebohkan serangan teroris itu. Sebagai anak muda yang baru turun gunung, biasalah, gayanya petakilan. Siapa saja mau dilawan. Beragam jurus ingin dipraktekkan.

“Biar tidak seperti pepatah. Daunnya lebat, tapi tidak berbuah,” kata mereka.

Saya memberikan senyum terbaik. Tidak lupa mengedipkan satu mata sebagai tanda cinta. Berharap akan ada banyak karya lahir dari tangan-tangan berbakat ini.

Dan atas semua itu, terima kasih kepada Tuan Putri Prihanani yang membantu semua ini bisa terjadi…

Sikap

Ketika melakukan perjalanan sejauh apapun, pada akhirnya kita akan kembali. Bahkan saat mengunjungi destinasi yang mengesankan, setelah itu akan dihadapkan pada realita yang sama. Tidak berlebihan jika kemudian Aristoteles mengatakan, “Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang – ulang. Mengasahnya, hingga bukan lagi suatu tindakan, tapi kebiasaan.”

P1050103Barusan saya menemukan foto ini. Diambil ketika melakukan perjalanan ke Hongkong, sebagai hadiah karena saya memenangi lomba menulis.

Bicara dunia tulis-menulis, apa yang dikatakan Aristoteles menemukan relevansinya. Pada akhirnya saya merasa, ini hanyalah soal kebiasaan. Kita hanya perlu melakukannya berulang-ulang. Seperti halnya seorang penikmat kopi harus menyeruput minuman hitam pekat ini setiap bangun tidur di pagi hari.

“Tidak ingin menulis tema lain, selain tema tentang buruh?” Sebuah pertanyaan masuk ke inbox saya, pagi ini.

“Untuk saat ini, biarlah tema itu dikerjakan orang lain,” jawab saya.

Kemudian saya balik bertanya. “Lah, kamu sendiri mengapa tidak mau menulis tema tentang buruh? Setidaknya tentang perlawanan orang-orang tertindas?” Saya tahu, dia beberapa kali sudah menulis buku.

“Nggak ada duitnya.”

Mendengar jawaban itu, saya tidak begitu kaget. Mungkin itu juga ketidaknyamanan dia, mau-maunya ngurusi buruh. Tahu alasannya mengapa saya melakukan ini? Karena saya sudah tersihir dengan mantra filsuf Pytagoras, yang mengatakan, “Orang yang ingin bergembira harus menyukai kelelahan akibat bekerja.”

Meski melelahkan, tetapi saya gembira dengan ini semua.

Memoar Gerakan Buruh Tangerang

12321113_977856808927409_617775490518490149_nBuat saya, “Memoar Gerakan Buruh Tangerang” menjadi semacam energi yang menyemangati untuk terus melangkah. Saya menuliskannya tahun 2011, saat baru bertugas di Tangerang, setelah lebih dari 8 tahun bersama FSPMI SERANG BANTEN. Sesuatu yang kemudian membuat saya memahami lebih detail, orang-orang hebat yang bekerja sepenuh jiwa hingga FSPMI Tangerang bisa kita lihat seperti sekarang.

Ada sejarah panjang sehingga FSPMI bisa menjadi seperti ini. Ia tidak tercipta dengan merapal mantra: bim salabim.

Maka, dengan mengenal sejarahnya, tidak saja akan membuat kita semakin jatuh cinta, tetapi juga menghargai. Dan bagi saya, penghargaan adalah apresiasi paripurna atas apa yang didedikasikan oleh orang lain.

Saya menyaksikan, disini, ada yang datang dan pergi. Ada yang bertahan sekian lama di tengah badai. Ada pula yang sekelebatan muncul, kemudian menghilang. Justru hal-hal seperti itulah yang kemudian menjadikannya penuh warna.

Satu hal yang saya kagumi sejak dulu adalah cara mereka menyatakan cinta. Bisa jadi ia akan marah ketika apa yang diharapkannya bertepuk sebelah tangan. Tetapi begitu instruksi sudah diturunkan, semua akan tunduk dan patuh. Rasa seperti ini sulit dipahami, tetapi benar-benar terjadi.

Demikianlah kisah-kisah itu terjadi. Jika dicermati, apa yang terjadi tidak ada yang kebetulan. Semua bermula dari hati yang bening. Keikhlasan untuk saling membantu dan kerelaan untuk berkorban. Jauh dari kesan hendak mencari keuntungan diri sendiri.

Beberapa kawan mengatakan, buku ini merupakan salah satu karya terbaik saya. Bisa jadi benar, karena ketika menuliskannya, separuh hati saya ada disana. Meskipun, saya sendiri tidak pernah membeda-bedakan setiap karya yang saya hasilkan, karena setiap karya adalah istimewa: lebih dan kurangnya.

Ketika membaca kembali buku ini, saya semakin percaya, mimpi kita akan terjadi. Semacam keyakinan, bahwa setiap harapan bisa diwujudkan. Kita pernah mengalami masa-masa sulit dan berhasil melewatinya. Inilah pelajaran sejarah yang saya dapatkan dari buku ini.

“Jas merah,” kata Soekarno. Sebandel apapun dirimu, jangan lupakan sejarah.

KAHAR S. CAHYONO
Penulis buku ‘Memoar Gerakan Buruh Tangerang’

========================
Note: Buku ini bisa dipesan dengam mengirimkan sms ke HP/WA: 0859-4573-1398

========================

 

Peduli

Aksi di Kantor Gubernur Banten dihiasi hujan lebat. Daripada mengutuk alam, pilihannya adalah berkompromi dengan hujan. Basah-basahan sekalian.

Setelah tim loby menyampaikan aspirasi dan kembali lagi ke barisan massa aksi, saya melihat handphone. Ada 20 panggilan tak terjawab. Juga pesan dari beberapa kawan yang berada di PHI. Memang, di saat yang bersamaan, ada 2 persidangan yang tengah berlangsung: satu perkara dari kawan-kawan Serang, satu lagi dari Tangerang.

Sebelumnya, kami sudah berkoordinasi untuk berbagi tugas. Saya yang ditunjuk mewakili FSPMI sebagai tim loby ikut aksi, dan kawan-kawan tim advokasi FSPMI Tangerang berada di PHI, yang hari itu agendanya adalah pembuktian.

Kehabisan pulsa untuk menelpon balik, saya mengirimkan sms ke Bendahara PC, Bung Narya. Minta agar pulsa saya diisi. Meski saya tahu, di hujan lebat seperti ini, Sunarya yang juga ikut aksi akan menyimpan handphone-nya. Jadi pesan saya tak mungkin di baca.

Beberapa menit kemudian, di handphone saya ada panggilan masuk. Kawan-kawan di PHI, mengabarkan jika saya ditunggu. Teman yang saya minta untuk mewakili ditolak oleh majelis.

Dengan pakaian basah kuyup, saya datang ke PHI. Memakan waktu 5 menit (jika ngebut) dari tempat aksi. Hujan masih deras.

Sesampainya di PHI, saya disambut Kristian Lelono, Tungga Sofi Sadewa, dan Must Akhmad Isroil. Ada juga kawan Ramadhani F. Chuky dari GM Free Graph dan beberapa kawan dari FSPMI Serang. Tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita melihat saya basah kuyup, Bung Kris meminjamkan baju bersih. Juga jas kebesarannya. Akhirnya, saya bisa masuk ke ruang sidang dengan hati yang lapang.

Sejujurnya, hal-hal kecil seperti ini kerap kali menyentuh hati saya. Kerelaan untuk saling membantu. Kepedulian dan kesediaan untuk berbagi peran. Diatas semua itu, apa yang kita kerjakan sesungguhnya saling terkait dan menguatkan. Memijam kalimat beberapa kawan, kita ini bersaudara walau tak sedarah.

Kawan-kawan yang hari itu bertugas ke PHI, saya yakin dalam hati kecilnya lebih memilih ikut aksi. Berada di tengah-tengah gegap gempita 12 mokom yang berjejer di KP3B dan dilihat oleh banyak anggota. Bandingkan ketika mereka berada di ruang “sunyi” benama PHI. Tetapi ia menyingkirkan egoisme dan kegembiraannya, demi membela kawan-kawannya yang di PHK. Jika disuruh memilih, mungkin Chuky si wartawan KP itu akan lebih banyak mendapatkan berita bagus ketika meliput aksi, ketimbang meliput jalannya persidangan. Bahkan, sosok seperti bung Ade Taufiq yang selalu standby di Sastra Plaza adalah orang sosok yang berjasa untuk memastikan kelancaran administrasi organisasi.

Ada istilah total football. Tidak selayaknya penyerang yang baik berada di barisan belakang menunggu gawang. Pun begitu sebaliknya. Apapun peran kita, sepanjang itu untuk kepentingan kaum buruh adalah mulia.

Di sela-sela kepala berat karena efek masuk angin, entah mengapa, pagi ini saya merasa perlu mengutip kalimat Puthut Ea, seperti di bawah ini:

“Kita mungkin sering hanya karena memikirkan eksistensi, egoisme, kepentingan diri, lupa bahwa kadang semua itu punya implikasi kepada orang lain. Seakan, hanya demi kehebatan kita, tak perlu peduli pada beban yang mesti ditanggung oleh orang lain. Tak peduli pada beban orang-orang terdekat kita, bahkan yang punya niat dan perbuatan baik kepada kita.

Egoisme sering melukai orang-orang yang kita cintai, menciderai orang-orang yang punya kebaikan hati. Diam-diam kita telah begitu kejam kepada mereka. Seakan boleh melakukan apa saja, boleh tidak bertanggungjawab, boleh tak acuh.

Diam-diam kita lupa menjadi manusia…”